Dinginnya Dieng ke Panasnya Solo
- Clarissa Euvenia
- Sep 11, 2020
- 7 min read
Updated: Sep 13, 2020
Berjarak sebulan setelah melipir ke Semarang, kali ini saya dan keluarga besar kembali melakukan perjalanan untuk mengisi liburan lebaran kami. Kembali ke daerah Jawa Tengah, tetapi dengan cerita dan pengalaman menakjubkan yang berbeda.
Entah apa yang dipikirkan oleh kami, kami memilih untuk pergi ke Dieng. Salah satu dataran tinggi yang pernah viral sekali karena mencapai suhu minus, dibawah nol. Bulan Juni bukanlah bulan yang dingin, bukan bulan untuk musim hujan. Namun ini pun tidak membuat Dieng memanas atau bahkan menghangat.
Kami memulai perjalan kami di malam hari, sebuah malam yang panjang dan cukup melelahkan karena kami memakai jalur darat dengan transportasi sewaan. Macet sudah bukan lagi hal yang bisa dihindari, mengingat saat itu masih dalam masa libur lebaran. Ini membuat perjalanan kami semakin panjang dan melelahkan.
Sekitar pukul sebelas malam, kami sampai di sebuah rumah makan. Mengisi perut yang sudah kembung karena kena AC Hi Ace yang dingin. Sejenak kami bisa merenggangkan otot kaku kami karena perjalanan ang panjang hingga titik itu.
Tak lama kemudian, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami yang masih tersisa. Semakin larut dan terlihat sekilas dari mata saya bahwa jalanan mulai lengang. Mungkin karena daerah yang dilewati bukan daerah umum untuk dilewati? Entahlah, tapi Hi Ace kami melaju cepat. Saya tidak tahu saat itu sudah jam berapa. Namun tidak terlihat tanda tanda gemerlap kota, hanya lampu-lampu jalan dan lampu-lampu toko yang sudah tutup menemani sisa perjalanan kami.

Beberapa jam kemudian, kami masih di dalam perjalanan. Langit masih gelap, Hi Ace kami berhenti di sebuah SPBU untuk kembali meregangkan otot, memberi waktu shalat pada bapak supir, mengisi kembali bensin. Udara dingin sudah menyambut kami, padahal ini belum di puncak.
Dieng Pleateu (Bakal Buntu, Bakal, Batur, Banjarnegara, Central Java)
Kami melanjutkan perjalanan, masih ada 5 kilo tersisa sebelum akhirnya kami sampai di Dieng. Sekitar pukul setengah delapan, kami akhirnya sampai di penginapan kami. Jika saya tidak salah ingat, pagi itu sudah masuk ke suhu 12 derajat. Lantai penginapan sangat dingin, bahkan saya yang suka dingin saja tidak kuat.
Selesai meletakkan barang-barang di kamar, kami akhirnya keluar hotel lalu siap menjelajahi Dieng. Tepat di sebrang hotel kami, ada beberapa toko oleh-oleh untuk membeli cemilan khas Dieng. Kami sempat mampir dan memberi beberapa cemilan, setelahnya lanjut berjalan lagi ke arah Candi Dieng. Matahari sudah naik dan menampakkan dirinya, tetapi tidak mampu menyebarkan panasnya sama sekali.
Dieng temples (Kompleks Candi Dieng)

Kami sampai di lokasi Candi, di sana kami harus menggunakan kain untuk dilingkarkan dipinggang kami. Sebenarnya di kawasan Candi ini hanya penuh dengan spot foto dan Candi-Candi yang berdiri di daerah tengah. Waktu itu ada satu atau dua Candi dalam taham peremajaan jadi kami hanya foto di beberapa candi saja. Mungkin hanya berbeda tinggi dan ukuran saja.
Museum Kaliasa (Karangsari, Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara, Central Java)

Saat kami sudah puas berfoto, kami berjalan ke belakang dan mengembalikan kain tersebut. Tepat dibelakang area Candi terdapat Museum. Sayangnya saya tidak sempat masuk ke museum, karena kami terpesona dengan pemandangan yang bisa kami dapatkan di sana. Posisi Museum tersebut dikelilingi tanaman yang sangat indah. Jelas kami tidak lupa berfoto-foto di sana. Kami bisa melihat gunung, bangunan-bangunan terlihat sangat kecil di posisi kami berdiri.
Kawah Singkidang (Bakal Buntu, Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara, Central Java)
Waktu yang kami butuhkan untuk akhirnya pindah ke objek wisata yang lain hanyalah sebentar. Pada pukul setengah dua belas, kami sudah berada di kawasan Kawah Singkidang. Di sana bau sulfur sangat pekat, kami disarankan untuk menggunakan masker.

Di lokasi itulah kami dapat merasakan panasnya matahari. Siang yang menyengat, tidak ada pohon-pohon di sekitar situ yang bisa membantu kami untuk menangkal panasnya matahari. Terlebih panas kawah membuat semuanya menjadi tidak tertahankan. Tapi kami cukup menikmati lokasi wisata tersebut, karena kami bisa naik ke bukit (walaupun bersusah payah) dan bisa berfoto di spot yang tinggi hingga terlihat kawah yang penuh dengan orang-orang berfoto di dekatnya.
Di area terbuka lain yang berbeda beberapa belas hingga puluh meter dari letak kawah, berjajar orang-orang berdagang oleh-oleh khas Dieng. Ada sulfur, minuman khas Dieng, Kerupuk, makanan lain dan juga baju-baju. Kami berjalan di sana hingga sampai di pedagang terakhir. Berjalan kembali ke tempat parkir mobil, yang saat itu sudah sangat penuh dan cendrung macet di jalan masuknya. Padahal waktu kami datang, lokasi parkir kami sangat sepi dan belum dijangkau siapapun.
Telaga Warna (Dieng, Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)
Berhubung langit masih terang benderang, kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke Telaga Warna. Dalam kawasan itu tidak banyak hal yang berbeda dari objek wisata alam umumnya. Kami sangat jatuh hati dengan tempe mendoan yang dijual sepanjang jalan setapak yang kami lalui, mengitari telaga dan sampai ke jalan buntu di ujungnya. Kami dipaksa kembali karena tidak ada jalan lain lagi. Ada beberapa lokasi sembayang yang dipercaya untuk mengabulkan permohonan tertentu. Hanya sekedar pengetahuan saja, saya dan keluarga saya tidak sembayang di sana.
Di Telaga Tiga Warna berbeda dengan Kawah Singkidang. Di sini sangat rindang, ditambah waktu itu tiba-tiba mendung menyelimuti langit di atas kami, angin sepoi sepoi dan pemandangan hijau yang jelas berbeda dengan Kawah Singkidang yang sangat gersang.
Ada tanjakan untuk bisa melihat telaga ini dari ketinggian tertentu. Tertulis "hanya 200 meter". Bukan panjang treknya, tetapi ketinggiannya. Ya jelas to, kaki saya sudah lelah saat ditengah jalan, banyaknya tangga dan tanjakan tanpa tangga membuat perjalanan untuk melihat keindahan Telaga menjadi sebuah mimpi buruk sementara.
Kami bertekad untuk merampungkan perjalanan kami hingga puncak. Dan usaha kami tidak sia-sia. Keindahan yang dapat kami lihat membayar habis perjuangan kami yang 'Hanya 200 meter' itu.

Sudah puas mendapatkan footage dan foto, kami akhirnya kembali turun dan menemui keluarga kami yang memutuskan untuk tidak ikut naik ke atas. Setelahnya, kami berjalan kembali ke pintu keluar yang cukup jauh dari posisi kami saat itu. Tetapi beruntung dengan kondisi sekitar Telaga yang membuat perjalanan kami terasa tidak lama. Kami juga berhenti beli jamur goreng dan tempe mendoan lagi. Jika habis beli lagi, hingga kami keluar dari sana.
Lelah sudah membebani otot saya. Kami kembali ke penginapan untuk recharge. Saya tertidur sangat pulas dan menghiraukan dinginnya Dieng hingga sore menjemput. Pukul enam sore tepatnya, langit sudah berganti warna, dingin sudah mulai menyerang kembali. Lucunya setelah saya bangun, saya membuat secangkir kopi dengan air yang mendidih sekali, tapi tidak ada hangat yang saya rasakan sama sekali. Padahal uap panas dari cangkir itu masih mengepul dan terlihat jelas.
Ini tidak bisa dibiarkan. Saya berusaha bergerak dan meredakan dingin yang memeluk perlahan. Sampai akhirnya Tante saya mengajak untuk makan Mie Ongklok di salah satu warung dekat penginapan.
Saat makan Mie Ongklok, kami membuat rencana untuk melihat sunrise di puncak Dieng. Di beri tahu bahwa harus datang jam 3 ke lokasi puncak supaya bisa mendaki dan saat sampai puncak tidak terlambat. Ya. Tekad kami sudah bulat.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam mungkin, kami akhirnya kembali ke penginapan dan saya memutuskan untuk mandi. Sedari tiba hingga malam itu saya tidak mandi sama sekali karena airnya dingin sekali. Beruntung ada water heater. Ini adalah hal lucu ketiga. Bahkan sampai ruangan kamar mandi dipenuhi uap air panas, air yang saya guyurkan ke badan saya tidak ada hangat-hangatnya sama sekali.
Tapi setidaknya tidak dingin sekali lah. Saya bisa tertidur pulas tepat setelah saya selesai mandi. Beruntung tidak kedinginan sampai saya bangun di subuh-subuh.
Sikunir, Dieng (Kebun & Hutan, Sembungan, Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah)
Jam 2 saya terbangun dan bersiap siap untuk menuju ke puncak Dieng. Perjalanan ditempuh separuh berjalan kaki, separuh naik ojek. Tidak berhenti sampai situ. Kami masih harus berjalan menaiki tangga-tangga yang dibuat untuk mencapai ke puncak.
Mungkin sudah ratusan orang yang memenuhi spot direkomendasikan untuk melihat sunrise dan keluarga kami kebagian spot yang lain. Kami hanya bisa menghela nafas. Setidaknya masih kebagian spot walaupun bukan spot yang tepat. Bahkan jika kami membuka kompas, Arah timur berada di sekitar 30 derajat dari lokasi kami berdiri. Ya, sesuai dengan arah spot yang direkomendasikan itu. Kami mendapat row terdepan karena saat kami tiba tidak ada satupun yang mau ke spot itu. Ya karena bukan spot yang direkomendasikan.
Kami hanya bisa menghela nafas kelelahan karena ini bukan main-main. Hidung kami sakit, tangan kami mati rasa. Di spot kami, kami tertabrak kabut berulang kali dan angin bertiup sangat amat kencang ke arah kami.

Mungkin Tuhan ingin membuat liburan kami menjadi sangat istimewa, dengan ajaib matahari terbit tepat di depan spot di mana kami berdiri. Ini suatu keajaiban!
Orang-orang berteriak mengeluh karena mereka mengira spot mereka sudah spot terbaik. Saya dan keluarga saya sudah seperti disiram air berkat yang berlimpah ruah karena kami mampu melihat matahari terbit tanpa halangan orang-orang. Kesimpulannya, Matahari memang tidak selalu terbit di arah timur secara tepat!
Puas sudah kami memandangi matahari dengan cahayanya yang semakin menggelegar, memecah kegelapan malam, dan membangunkan kegiatan orang-orang di sana. Kami turun dan memutuskan untuk tidak lanjut menginap di Dieng karena kami rasa sudah tidak ada lokasi wisata yang dapat dikunjungi lagi. Kami sudah tidak kuat karena dingin juga.
Kami memutuskan untuk turun ke kota Solo. Macet membuat saya cukup naik pitam. Saya hanya bisa diam dibelakang dengan pantat kram karena tidak bisa bergerak sama sekali.
Hampir dua belas jam kami di jalanan dan akhirnya kami menyentuh kota Solo. Malam Sudah menjemput dan saya hanya bisa berharap untuk sampai di penginapan secepatnya. Sesampainya di hotel saya segera mandi karena tidak tahan dengan badan saya yang sudah lengket dan berdebu. Yah di Solo ini hanya nonggoh semalam saja.
Setelah mandi kami berjalan keluar hotel untuk mencari nasi liwet. Salah satu kuliner yang terkenal di Solo. Berjalan menapaki trotoar yang luas dan di pintu-pintu toko yang sudah tutup ada grafiti-grafiti yang sangat memanjakan mata. Kami sempat belok ke McD tetapi karena sangat ramai akhirnya kami tetap ke nasi liwet.
Sesudahnya makan nasi liwet, kami kembali ke hotel. Saya, cece dan sepupu saya memesan Markobar. Martabak yang sangat terkenal karena menghidangkan tampilan martabak yang seperti pizza.
Ya lumayan puas malam itu, akhirnya kami bisa beristirahat di hotel dengan nyaman hingga pagi menjemput. Kami checkout sekitar jam 9 setelah mama, papa, om dan tante kambali dari tempat untuk membeli onde-onde kering yang pecah tengah (Saya lupa sebutannya apa). Kami menuju ke Orion dan makan siang di dekat sana. Ada es krim yang enak dan dijajakan oleh bapak-bapak di depat depot tempat kami menyantap brunch kami. Setelahnya kami kembali pulang meninggalkan Solo ke rumah.
Perjalanan saya kali ini memberikan pengalaman yang lucu dan menakjubkan. Selama saya bertumbuh menjadi remaja, ada berbagai perjalanan menakjubkan yang saya lalui. Namun tidak ada yang benar-benar dapat saya ingat secara jelas. Yang jelas di cerita ini pun tidak saya ceritakan secara detil, namun setidaknya saya bisa mengingat semuanya dengan baik. Saya merasa bersyukur dapat merasakan perbedaan suhu secara drastis di satu liburan yang sama.
Mungkin saya tidak memiliki kesempatan lain untuk merasakan liburan yang benar-benar sama. Setiap perjalanan memiliki ceritanya sendiri. Bahkan di kota yang sama. Bahkan di tempat wisata yang sama. Bahkan di penginapan, restoran, depot, dan semuanya. Bahkan dengan orang-orang yang sama, cerita di setiap perjalanan akan berbeda.
Saya bukan seorang yang mampu mengingat momen-momen dalam hidup saya dengan baik. Namun saat saya melakukan perjalanan, entah ilham apa yang saya dapati, saya bisa mengingat semuanya dengan ya... 85-90% lah. Saya berencana untuk membuat satu tahun di hidup saya menjadi lebih bermakna karena ada cerita, momen, dan pengalaman yang membuat saya bisa mengingat bahwa hidup saya ini indah. Ini juga karena bantuan media yang saya gunakan utnk benar-benar membantu saya mengingat semuanya dengan baik.
Akhir kata, Terima kasih Dieng dan Solo. See You next time!
Comments