top of page
  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • YouTube
  • Pinterest

Pengalaman Baru di Dewata

  • Writer: Clarissa Euvenia
    Clarissa Euvenia
  • Sep 11, 2020
  • 11 min read

Updated: Sep 13, 2020

Tahun baru, semangat baru. Di awal tahun 2019, saya mengawali cerita perjalanan saya ke pulau Dewata. Kali ini saya berangkat ke sana bersama dengan salah satu rekan kerja saya, cece ketemu di kerjaan hehe.


Ini suatu pengalaman baru yang saya lalui, naik pesawat. Saya sangat excited karena ini adalah pengalaman pertama saya. Waktu itu sore di Surabaya, gerimis mengguyur sepanjang jalan menuju ke Juanda, kami berdua bercengkrama di dalam mobil mengabari keluarga kami bahwa kami berdua sudah melakukan perjalanan.


Saat tiba, kami langsung masuk ke dalam gedung, dan melalui beberapa tahap sampai akhirnya kami benar-benar duduk di ruang tunggu. Satu jam menunggu flight kami.


Kami becengkrama dan sempat menonton beberapa video di YouTube, sampai akhirnya tiba saat kami harus masuk ke dalam pesawat. Ini benar-benar pengalaman pertama saya naik pesawat. Sekali lagi rasa excited memenuhi diri saya.


Sepanjang perjalanan, banyak cerita yang saling kami bagikan, sehingga kami dapat membunuh waktu dalam penerbangan kali ini. Saat itu sudah malam, cahaya lampu terlihat dari ketinggian, semakin lama semakin mengecil, seperti saya melihat jutaan bintang tetapi berada di bawah saya.


Selingan candaan kami sepanjang perjalanan benar-benar membuat kami tidak sadar jika akhirnya kami tiba di Ngurah Rai. Bau tanah basah menyambut kami, sebelum kami tiba hujan mengguyur Bali. Waktu itu masih bulan Februari, masih termasuk dalam musim hujan terlebih karena di tahun sebelumnya, musim hujan datang terlambat.


Kami memesan mobil online (Kalau sekarang sudah ada lokasi pick up mobil online di daerah parkiran, kalau dulu masih sembunyi sembunyi) dan segera keluar dari area bandara. Mobil kami menuju ke penginapan kami yang pertama. Di sebuah penginapan yang berada di daerah Legian, satu kamar terdiri dari beberapa bunk bed.


Oleh orang resepsionis kami berdua diantar ke kamar setelah melakukan check in. Kami pun diperbolehkan untuk memilih bunk bed, dan akhrinya kami memilih bunk bed yang bersebrangan. Singkat cerita akhirnya kami melepas penat kami dan mulai beristirahat karena itu sudah sangat larut dan suasana kamar tersebut sangat amat sepi.


Tidak kesepakatan yang kami berdua buat untuk bangun jam berapa, namun kami berdua secara bersamaan terbangun saat ada salah satu alarm penghuni lain yang tidak segera dimatikan. Saya merasa bingung saat waktu sudah menunjukkan pukul 8 WITA, tidak ada satupun penghuni kamar yang beranjak dari tempat tidur mereka.


Kami packing agar nanti setelah sepeda motor yang kami sewa tiba, kami tidak keribetan untuk packing-packing lagi. Setelah selesai kami berjalan keluar mencari makanan yang setidaknya bisa kami nikmati dan cocok untuk menu sarapan kami.


Sebenarnya di sebelah penginapan kami ada depot chinese food, tetapi kami memutuskan untuk berjalan mencari jenis makanan yang lain. Sayang sekali, mungkin saat kami berdua keluar, masih terlalu pagi untuk jam buka tempat makan. Bahkan banyak toko-toko di situ yang masih tutup, beberapa orang (mungkin pemilik) masih sembayang di Penunggun Karang yang ada di depan toko mereka.


Karena kami merasa bahwa masih tidak banyak tempat makan yang buka akhirnya kami kembali ke dekat penginapan dan membeli sarapan kami di depon chinese food di dekat penginapan tadi.


Setelah makan, kami check out dan membawa barang kami keluar dari penginapan. Tak lama berselang, pihak yang menyewakan sepeda motor tiba di penginapan kami membawa motor yang akan kami sewa selama beberapa hari kedepan. Setelahnya kami langsung memulai perjalanan kami menggunakan sepeda motor.


Pabrik Kata-Kata Joger (Jl. Raya Kuta, Kuta, Kabupaten Badung, Bali)

Dengan barang-barang yang kami bawa, Joger menjadi tujuan pertama kami di Bali. Joger sendiri merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang terkenal di Bali. Wajah Joger waktu saya datang ke sana sudah baru, berubah sejak terakhir kali saya ke sana yaitu dua tahun lalu. Di Joger, kami melihati berbagai macam oleh oleh berupa baju dan lain-lain. Namun kami masih tidak ada niat untuk membeli apa apa saat itu, sehingga kami melanjutkan perjalanan kami.


Garuda Wisnu Kencana Cultural Park (Jl. Raya Uluwatu, Ungasan, Kec. Kuta Sel., Kabupaten Badung, Bali)

Setelah puas menyegarkan mata dengan barang-barang di Joger dan toko-toko di sebrang Joger, kami melanjutkan perjalanan kami siang itu ke Garuda Wisnu Kencana. Salah satu atraksi wisata yang sangat populer di Bali. Perjalanan yang dibutuhkan sekitar satu setengah jam dari penginapan kami yang dekat dengan daerah Kuta. Saat tiba, kami membayar tiket parkir seharga sepuluh ribu rupiah lalu segera memarkirkan sepeda motor sewaan kami di daerah parkir sepeda motor yang berada tepat di depan lokasi toko-toko oleh-oleh berjajar.


Kami masuk dan membeli tiket seharga delapan puluh ribu (harga 2/2019) untuk menikmati isi GWK. Mungkin saat ini harganya juga sudah berbeda. Saat itu terik matahari sudah mulai memanggang kami berdua, sehingga kami berjalan masuk dan merepet ke daerah rindang supaya tidak terlalu kepanasan. Kami datang saat waktu pertunjukan tengah berlangsung, bisa diangap kami terlambat. Akhirnya kami memutuskan untuk lanjut berjalan ke bagian patung Wisnu (setengah badan) dan Garuda. Saat masuk ke daerah itu, kami harus menggunakan kain untuk dikenakan membentuk rok karena celana yang kami kenakan tidak menutup kaki kami sepenuhnya.

Mengambil beberapa foto di dekat patung dan melanjutkan perjalanan kami ke bagian lain. Kain tidak sepenuhnya digunakan selama berada di kawasan GWK. Hanya di bagian patung Wisnu saja jika saya tidak salah ingat.


Bagian ikonik lain dari GWK adalah jajaran tebing kapur yang tertata rapi seperti tameng. di sela-selanya ada jalanan menuju ke sebuah gedung baru. Terdapat patung Wisnu yang menaiki Garuda secara lengkap di atas gedung tersebut. Menjulang tinggi membelah langit, nampak dari antara jajaran tebing kapur yang sudah ditumbuhi lumut tersebut. Kami berjalan ke sana.



Penjaga mengatakan hanya butuh waktu 7 menit untuk sampai di museum. Pada kenyataannya, pejalanan tersebut menanjak dan jauh. Cukup melelahkan dan pada akhirnya saat kami sampai, gedung tersebut yang digadang-gadang menjadi sebuah museum dengan restoran berarsitektur unik di atasnya belum siap dipamerkan ke publik secara utuh saat itu.


Saat kami sampai dan masuk, hanya ada jejeran foto sepanjang gedung, mulai dari foto perencanaan, pengesahan, dan rencana soal bagaimana penampakan gedung ini di akhir pembangunan. Namun, saat kami ke sana, kami tidak bisa menikmati isi gedung tersebut, karena akses menuju ke lantai lain ditutup. Lift yang ada sedang dalam perbaikan.


Jelas, perjalanan '7 menit' kami itu sia-sia. Sempat medung, namun pergi lagi. Jadi kami hanya merasakan panas. kami sempat duduk dan memutuskan ke mana destinasi selanjutnya, sebelum kami berangkat ke Ubud.


Kami memutuskan untuk kembali ke Kuta untuk menyantap makan siang dan malam kami, Pizza. Jauh-jauh kami kembali ke sana hanya untuk menyantap Pizza karena sedang ada promo.


Kenyang sekali rasanya setelah menyantap seloyang pizza. Kami pun segera close bill dan menyebrang ke Kuta. Ingin melihat matahari terbenam, sayangnya sore itu Kuta tengah mendung. Kami sempat terkena gerimis dan karena gerimisnya semakin menjadi-jadi, kami pikir akan lebih baik segera menlanjutkan perjalanan. Kami memasang jas hujan kami dan mulai menjauhi daerah Kuta.


Nasib memang, rasa malu harus kami tanggung sejenak, karena setelah menjauh dari daerah Kuta ke daerah tengah, Matahari bersinar dengan gagahnya, tidak ada tanda-tanda hujan. Sedangkan kami berdua secara stand out menggunakan jas hujan di tengah kerumunan pengendara motor lain yang bahkan tidak pakai jaket. Kami menepi saat ada tempat yang layak untuk menepi dan segera melepas jas hujan kami.


Benar saja, jika kami memaksa untuk tetap pakai jas hujan dengan alasan daripada berhenti-berhenti, kami akan menanggung malu yang amat sangat. Buktinya sampai di Ubud, tidak ada satupun tetesan air hujan yang menyentuh kulit kami.


Gelapnya malam sudah mengambil alih hari, cahaya-cahaya lampu mulai terlihat, namun jarang-jarang. Beberapa spot saya anggap cukup menakutkan, dengan jalannya yang naik turun tetapi lampunya jarang-jarang, sebelah kami tebing, sebelahnya lagi jurang. Pohon-pohon rimbun menemani perjalanan kami hingga akhirnya kami sampai di tikungan Monkey Forest, lokasi di mana kami akan menginap.


Monkey Forest Street

Gemerlap lampu kuning cafe, hotel, bar dan bistro berjajar rapi menyambut kedatangan kami. Membuat saya yang berada di jok belakang mengagakan mulut saya karena ini adalah pemandangan yang sangat indah. Walaupun hanya berupa jalan dengan jajaran cafe dan bar dengan warna cahaya lampu kuning ke oranye, ini sangat indah jika dipotret.


Setelah sampai, kami check in dan segera menempati kamar kami. Kamar ini bergaya rumah adat bali. dengan teras di depan, pintu kayu, serta beberapa patung yang diletakkan di antara kamar saya dengan kamar sebelah, dan juga di dekat tangga kecil di depan kamar. Kami kira akan panas karena hanya ada kipas angin, ternyata kami salah. Hehe.


Belum benar-benar larut, kami berdua berjalan keluar dulu dan melihat-lihat sekitar jalan Monkey Forest dan sayangnya tidak lama kemudian harus kembali ke penginapan karena sudah banya bistro yang tutup. Saya kira karena Bali, jam tutupnya jauh lebih malam, tapi ternyata tidak. Sama saja dengan Surabaya hehe.



Saat sampai di kamar, kami siap-siap tidur, tetapi ternyata kami berbincang-bincang sampai benar-benar larut. Mungkin sampai jam 2? Atau lebih, saya agak lupa. Karena malamnya kami tidur larut, kami tidak memaksakan diri untuk bangun pagi. Semalam saat kami tiba, kami diberi tahu untuk memesan sarapan di pagi hari, dan memesannya di tempat resepsionis. Setelah memesan kami kembali ke kamar dan menunggu pesanan kami. Omelette Jaffle dan Banana Pancake. Ada juga buah-buahan dan juga teh hangat disuguhkan sebagai sarapan kami di hari pertama di Ubud.


Ubud Palace (Jl. Raya Ubud No.8, Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali)


Setelah menyantap habis sarapan kami, kami bersiap-siap dan segera berjalan keluar dari penginapan. Berjalan menyusuri jalanan ke arah kiri dari bibir gang. Melihati bistro-bistro yang sudah mulai buka, jalanan yang mulai ramai. Hari itu ada suatu perayaan penting, jadi ada suatu Pura yang memang ingin kami kunjungi, ditutup sementara. Sayang sekali, tetapi untungnya ada Ubud Palace yang berada di dekatnya. Di sana banyak wisatawan yang berkunung dan foto-foto di pelataran depan, ada yang masuk dan melihat-lihat di dalam.


Kami mengambil cukup banyak foto di sana, sebelum akhirnya keluar dan pergi ke pasar yang berada beberapa meter dari Ubud Palace. Di dalam pasar tersebut, kami hanya melihat-lihat dan menanyakan beberapa harga, kami hanya membuat perbandingan dengan pasar Sukowati yang nanti akan kami kunjungi.


Goa Gajah (Jalan Raya Goa Gajah, Bedulu, Gianyar, Bali)

Matahari siang sudah mulai meninggi, kami melanjutkan perjalan kami menyisir daerah Ubud dengan bantuan Google Map. Tujuan kami selanjutnya adalah Goa Gajah. Goa Gajah merupakan salah satu atraksi wisata yang juga terkenal di ubud selain Moneky Forest. Saat masuk ke tempat wisata satu ini kami disuruh menyewa kain bali untuk penutup bagian setenagh badan ke bawah, sama seperti saat di GWK. Oh ya, saat di Bali Anda mungkin akan sering diminta untuk menutup bagian tubuh setengah ke bawah Anda, ini merupakan kebiasaan mereka. Lagi pula ini juga merupakan tempat sakral. Saat mau masuk, kami membeli tiket, dan di papan sebelah tiket diberi tahu bahwa wanita yang tengah datang bulan diharap untuk tidak masuk, daripada mendapat bala.



Kami berdua berjalan masuk, menuruni anak tangga sambil menikmati pemandangan di bawah kami. Di awal memasuki daerah sekitar Goa, kami disambut suatu bangunan sejenis kolam yang digunakan untuk mandi (pada jamannya), ini saya sekilas mendengar dari tour guide yang menjelaskan kepada turis asing sebelah saya, entah benar atau tidak saya mendengarnya, tetapi harusnya tidak salah. Hehe.


Setelah melihat lihat, kami berjalan agak ke dalam lagi, di sebelah kolam tersebut, tidak jauh Goa Gajah sudah nampak. Kami berfoto di luar, dan menyempatkan diri untuk masuk ke dalam. Saat masuk ke bagian dalam, terdapat pertigaan, yang masing masing ujungnya digunakan untuk menaruh sesaji, atau persembahan setelah sembayang. Tak berlama-lama, kami keluar dari gua dan mulai menyusuri area lain di sana.


Semakin ke dalam, kami menemukan pemandangan yang menyegarkan, hijau dan rimbunnya pohon serta suara gemercik air terjun yang berada di sisi kiri kami saat kami berjalan turun. Kami sempat ditawari untuk ke air terjun tersebut, tetapi melihat jalanan yang lebih licin, kami mengurungkan niat kami dan lanjut berjalan ke bagian semakin dalam.


Kami berfoto-foto sepanjang area Goa Gajah. Sambil menikmati alam yang ada di sekitarnya. Perjalanan kami memutar dan akhirnya kembali ke arah keluar. Sebenarnya di luar kmai bisa menemui jejeran toko-toko oleh-oleh, tapi kami tidak menoleh sama sekali. Tujuan kami hanya ke Sukowati kalau ingin belanja belanja.


Kanto Lampo Waterfall (Beng, Kec. Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali)

Sebelum kami ke Sukowati, hari masih siang, sekitar pukul dua siang mungkin, kami pergi ke Air Terjun Kanto Lampo. Jalan untuk ke Air terjun ini memiliki tanjakan/turunan yang cukup curam, hingga akhirnya sampai di tempat parkir yang berada di sebrang pintu masuk. Setelah parkir, kami masuk dan membayar lima belas ribu (untuk turis lokal, turis asing dua kali lipatnya, atau kalau tidak salah dua puluh lima ribu).



Tangga-tangga berlumut selanjutnya menyambut perjalanan kami ke pusat air terjun. Suaranya keras, menenangkan sekali. Hal yang saya sayangkan saat itu adalah, kamar madinya sangat bau, gelap dan kotor. Cukup menakutkan bagi saya, ditambah dengan saya lupa membawa baju ekstra kadi saya harus menerima nasib.


Saya hampir tergelincir berulang kali, dan jari kaki saya terluka karena di air terjun ini. Tapi ketakutan hilang saat melihat bagaimana bagusnya air terjun ini. Ya tidak sebagus yang mungkin Anda bayangkan, tetapi saya hampir tidak pernah melihat air terjun secara langsung di depan mata saya, sehingga saya wajar mengatakan ini indah.


Pasar Seni Sukawati (Jalan Raya Sukawati, Sukawati, Kec. Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali)

Sudah puas berfoto-foto, kami kembali dan membilas diri. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya pergi ke Sukowati setelahnya. Mungkin saking panasnya udara saat itu, baju saya jadi kering lagi. Ya untung deh, rencananya mau beli di Sukowati, kok tapi sudah kering, ya sudah hehe.


Saat sampai di Sukowati, saya melupakan bagaimana terakhir kali Sukowati terlihat bagi saya. Sudah lebih dari 5 tahun lalu, terakhir kali saya ke Sukowati. Kami memarkirkan motor kami dan mulai menyisir Pasar yang juga menjadi ikonik di Bali ini.


Membeli beberapa oleh-oleh untuk sanak saudara, menawar habis-habisan sampai akhirnya melihat beberapa toko sudah membereskan jualan mereka dan siap-siap untuk tutup. Saya mengingat jelas bagaimana cece dengan luar biasanya menawar 3 baju belanjaannya dengan harga yang sangat miring. Penjual sempat mengeluh karena jualan mereka ditawar harga rendah, hal ini disebabkan bulan itu bulan yang sepi bagi mereka. Sedikit sekali turis lokal (yang terkenal lebih sering belanja oleh-oleh, dibanding turis asing) di bulan itu, karena memang bukan peak season.


Setelah kami puas berbelanja, kami mengarah kembali ke penginapan. Lapar sudah menjadi alasan utama kami harus kembali. Seharusnya sepanjang jalan kami sudah mencari-cari makan, tetapi kami takut jika harganya akna mahal, karena kami tidak bisa melihat harganya. Sehingga kami memutuskan untuk nggojek makanan, sembari saya menghabiskan waktu dengan berenang di kolam penginapan. Ojek-ojek sempat tidak mau menerima pesanan kami, ada yang bilang ini akan lama karena butuh cari jalan memutar.


Tapi bodo amat deh, kami sudah lapar, mau datang jam berapa saja yang penting tidak kemalaman. Kok ya untuk benar, tidak terlalu malam, walaupun matahari sudah kembali ke peraduannya. Kami makan makanan yang sangat umum ditemukan, saya pesan nasi goreng dan cece pesan ayam bakar.


Ya setelah kenyang kami bersiap-siap untuk pergi keluar menyusuri jalan monkey forest. Masa kami menginap di sana, tapi tidak sempat menikmati jalan monkey forest sama sekali? Hehe. Ada Acara yang diselenggarakan tidak jauh dari gang penginapan kami, kami ditawari dan cece ingin menonton. Tapi setelah tahu itu berbayar, kami mengunrungkan niat lagi. Hehe maaf ya Bli, Uang kami sudah mepet.


Saya membeli satu cone es krim yang berharga cukup mahal di sana. Gourmet Gelato. Shout out to this delicious ice cream! hehe.


The Birds and The Bees (Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali)

Kami juga sempat mampir ke salah satu cafe yang baru buka di sana, memesan fried fries dua kali, kombucha, dan juga sebuah minuman sayur yang dicampur buah, saya agak lupa apa namanya dan apa komposisinya, tapi rasanya enak kok! Kami menikmati beberapa lagu jazz yang dimainkan langsung oleh penyanyi yang baru memulai pertunjukan mereka setelah sekitar dua puluh menit kami duduk di sana.



Kami ngobrol-ngobrol saat suasanya malam di Ubud semakin mengental, Bar-bar sudah mulai semakin hidup dengan lampu gemerlap, lampu-lampu yang makin terlihat terang di gelapnya malam, suara kendaraan sliweran di depan cafe kami nongkrong, mengingat bahwa ini adalah malam terakhir kami di Bali. Walaupun besok kami juga hampir seharian di Bali, tetapi malam ini terasa begitu lebih cepat dari malam-malam sebelumnya.


Kami berjalan menyusuri jalanan lagi setelah keluar dari cafe itu. Sambil berbincang, kami juga sempat mampir ke miniso di sana, melihat-lihat dan keluar lagi, melihat baju, keluar. Sampai akhirnya waktu itu sudah cukup larut, akhirnya kami kembali ke penginapan, dan segera beristirahat.


Saat hari berganti, kami memesan sarapan lagi di penginapan sambil packing. Kami akan kembali turun ke daerah Kuta. Hari itu hari minggu, kami harus ibadah dan mengikuti misa di sana. Setelah menemani cece beribadah di salah satu gereja di sana, kami pergi mencari sate babi. Memakannya sebagai menu makan siang kami.


Perjalanan berlanjut hingga sampai di Gereja. Kali ini gantian saya yang misa. Cece menunggu di minimarket terdekat sampai saya selesai dan keluar menyusul cece. Sempat berhenti sejenak karena sore itu mulai membuat kami berdua mengantuk, akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di daerah Kuta.


Kali ini kami menghabiskan waktu di McDonald yang ada tepat di seberang pantai Kuta. Menunggu sunset di Kuta, banyak yang bilang yang terindah di sana kan? Iya. Meskipun langit sedikit mendung, tapi matahari perlahan turun menemui garis horizon adalah momen yang sangat indah bagi saya. Saya menunggu hingga akhirnya matahari benar-benar terbenam dan kembali ke McD. Cece menunggu di sana karena kelelahan. Kami berdua nonggoh di McD hingga malam tiba.


Setelah kami rasa malam sudah semakin memekat, kami berdua akhirnya cus kembali ke Ngurah Rai untuk kembali pulang ke Surabaya. Kami sudah sangat amat koleng di saat itu. Kami tidak bertukar cerita karena otak kami terlalu lelah untuk memproses sebuah cerita.


Ya pengalaman saya kali ini membuat saya sadar akan kemampuan dan kelemahan saya semakin dalam. Lagipula ini pengalaman pertama saya berkeliling bali dengan sepeda motor, pengalaman pertama saya untuk naik pesawat. Ini sebuah cerita yang sangat berharga bagi saya.


See You next Time Pulau Dewata!

Comentários


bottom of page